Selasa, 26 Juli 2016

KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENGUJI KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI RI TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH



A. LATAR BELAKANG

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2015 yang telah berlalu ternyata masih menyisahkan beberapa catatan perseoalan yang tak kunjung selesai bagi pasangan calon kepala daerah yang merasa belum memperoleh keadilan dan kepastian hukum. Hal ini terbukti dari fakta perkara-perkara yang sedang ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dimana sekitar belasan pasangan calon kepala daerah dari berbagai wilayah di Indonesia yang mengikuti pilkada tahun 2015 mengajukan gugatan terhadap Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri) yang mengeluarkan surat keputusan (SK) pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.

Permasalahan yang timbul bagi para pasangan calon kepala yang mengajukan gugatan tersebut yakni respon Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang menggunakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, untuk menyatakan tidak menerima gugatan yang diajukan tersebut dengan alasan bahwa pengadilan tata usaha negara tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan tersebut.

Atas permasalahan tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 maka para pasangan calon kepala daerah tersebut mengajukan gugatan perlawanan atas penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut.

B.  RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan hukum yang ingin dikaji oleh penulis dalam penulisan ini yakni apakah Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang menguji keputusan Menteri Dalam Negeri RI tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah ?

C.  PEMBAHASAN

1.       SK MENDAGRI TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KONTEKS  SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Pengertian sengketa tata usaha negara berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yakni dikutip sbb :

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sengketa tata usaha negara terdiri dari unsur-unsur, sbb :

1.       Pihak yang bersengketa yakni orang atau badan hukum perdata selaku Penggugat melawan badan atau pejabat tata usaha negara dan
2.       Yang menjadi objek sengketa yakni keputusan tata usaha negara.
Unsur sengketa tata usaha negara tersebut apabila dihubungkan dengan fakta gugatan yang diajukan oleh pasangan calon kepala daerah terhadap SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, maka unsur pertama berupa pihak yang bersengketa telah terpenuhi karena Penggugat adalah pasangan calon kepala daerah yang merupakan subjek hukum orang, sedangkan Mendagri sebagai Tergugat adalah pejabat tata usaha negara. Sebagaimana diketahui pengertian Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 yakni badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari aspek objek sengketa berupa SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, dapat disimpulkan bahwa SK tersebut merupakan keputusan tata usaha negara karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 yang dikutip, sbb :
“Keputusan Badan atau Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”
SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah merupakan keputusan tata usaha negara yang bersifat kongkret kongkret karena keputusan tersebut benar-benar nyata tertulis dan tidak bersifat abstrak. Di sisi lain SK Mengadri tersebut bersifat individual, karena dalam keputusan tersebut jelas diperuntukkan kepada nama yang tertera dalam keputusan tersebut. Adapun SK Mendagri tersebut bersifat final, karena SK tersebut  telah menimbulkan akibat hukum dan tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut.

Bahwa sebagaimana diketahui dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 juga memberikan pengecualian tentang sebuah keputusan tata usaha negara yang dapat disengketakan di pengadilan tata usaha negara yakni sbb :

1.       Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2.       Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.       Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4.       Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5.       Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6.       Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
7.       Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum

Bahwa dari ketujuh pengecualian tersebut, maka yang terkait dengan pilkada yakni Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Tentunya ketentuan tersebut apabila dihubungkan dengan gugatan yang diajukan oleh pasangan calon kepala daerah tersebut maka sangat jelas bahwa yang menjadi objek sengketa adalah SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, bukan keputusan panitia pemilihan (KPU). Dengan demikian maka objek sengketa tersebut bukanlah jenis keputusan yang dikecualikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut.
Berdasarkan analisa tersebut di atas maka SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah merupakan SK yang dapat disengketakan di pengadilan tata usaha negara.

2.       SK MENTERI DALAM NEGERI (MENDAGRI) TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN

Uraian ini perlu dikaji oleh penulis mengingat dalam salah satu pertimbangan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, pada pokoknya menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 153 dan Pasal 154 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, maka pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilihan yakni ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta setelah seluruh upaya administratif di bawaslu Propinsi dan/atau Panwas Kabupaten Kota telah dilakukan.

Pasal 153 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dikutip, sbb :

Pasal 153
Sengketa tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengertian sengketa tata usaha negara pemilihan yakni :

1)      Sengketa antara antara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota

2)      Objek sengketa adalah Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.


Dengan demikian maka apabila yang digugat adalah  SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, maka sengketa tersebut bukan merupakan sengketa tata usaha negara pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, karena Tergugat dalam perkara tersebut bukan KPU dan objek sengketa dalam perkara tersebut bukan surat keputusan KPU.

Berdasarkan analisa tersebut di atas maka SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah merupakan SK yang dapat disengketakan di pengadilan tata usaha negara.

3.       SK MENTERI DALAM NEGERI (MENDAGRI) TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN TAHAPAN PILKADA

Bahwa adapun dalam salah satu pertimbangan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, pada pokoknya menyatakan objek sengketa (SK Menteri Dalam Negeri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah) adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri RI mengenai rangkaian proses pemilihan Kepala Daerah Tahun 2015 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 jo Undang-Undang No, 8 Tahun 2015;

Menanggapi pertimbangan tersebut, penulis berpandangan bahwa secara hukum rangkaian tahapan proses pilkada telah diatur dalam Pasal 5  Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 yang dikutip sbb :

“(1) Pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan persiapan dan  tahapan penyelenggaraan.

  (2) Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.      perencanaan program dan anggaran;
b.      penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan;
c.       perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan;
d.      pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;
e.       pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS;
f.        pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan; dan
g.      penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih.

 (3) Tahapan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      pendaftaran bakal Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
b.       Uji Publik;
c.       pengumuman pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
d.      pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
e.       penelitian persyaratan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
f.        penetapan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
g.      pelaksanaan Kampanye;
h.      pelaksanaan pemungutan suara;
i.         penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara;
j.        penetapan calon terpilih;
k.       penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan
l.        pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka tahapan akhir dari rangkaian proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh KPU, yakni sampai pada “pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih”.

Dengan demikian maka tindakan pengesahan dan pengangkatan kepala daerah adalah rangkaian terpisah yang menjadi kewenangan mutlak Menteri Dala Negeri dengan memperhatikan seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Oleh karenanya apabila dalam penerbitan SK pengesahan dan pengangkatan kepala daerah, mendagri mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka SK tersebut dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

4.       SK MENTERI DALAM NEGERI (MENDAGRI) TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN YURISPRUDENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Bahwa berdasarkan penelusuran penulis maka terdapat beberapa yurisprudensi dari perkara-perkara gugatan perlawanan yang pernah diperiksa dan diputus di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan amar pada pokoknya yakni membatalkan penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan menyatakan pengadilan tata usaha negara berwenang memeriksa dan mengadili SK Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.

Adapun yurisprudensi tersebut yakni :

a.       Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 09/PLW/2012/PTUN-JKT, tanggal 17 April 2012; dalam perkara Pilkada Kabupaten Mesuji antara salah satu pasangan calon melawan Menteri Dalam Negeri.

b.      Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 146/PLW/2011/PTUN-JKT, tanggal 8 November 2011 dalam perkara Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah antara salah satu pasangan calon melawan Menteri Dalam Negeri.

c.       Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 161/PLW/2011/PTUN-JKT, tanggal 6 Desember 2011; dalam perkara Pilkada Kabupaten Keerom antara salah satu pasangan calon melawan Menteri Dalam Negeri.

Dengan demikian, maka demi kepastian hukum dan sesuai dengan asas hukum similia similiabus yang pada pokoknya menyatakan bahwa perkara yang sama (sejenis) harus diputus sama (serupa) pula, maka sudah selayakna Pengadilan Tata Usaha Negara Jakara memeriksa dan memutus sengketa pengujian atas SK Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang menguji keputusan Menteri Dalam Negeri RI tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.


Meskipun demikian, agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan maka Pengadilan Tata Usaha Negara juga harus selektif memeriksa alasan-alasan gugatan yang diajukan dimana apabila alasan-alasan gugatan berkaitan dengan kesalahan perhitungan suara atau kecurangan-kecurangan dalam pilkada yang mana menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka pengadilan Tata usaha negara harus menyatakan tidak menerima gugatan tersebut.

Rabu, 25 November 2015

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ARBITER TERHADAP TUNTUTAN HUKUM PARA PIHAK YANG BERSENGKETA TERKAIT DENGAN TINDAKANNYA SELAMA MEMERIKSA DAN MEMUTUS SENGKETA ARBITRASE



1.       Latar Belakang

Tulisan ini didasarkan pada pengalaman saya dalam membela klien saya yang merasa dirugikan akibat tindakan Majelis Arbiter yang memeriksa dan memutus sengketa di salah satu lembaga arbitrase. Dalam mengadili perkara tersebut Majelis Arbiter diduga beritikad buruk dengan menolak melakukan pemeriksaan lokasi objek sengketa serta mejatuhkan putusan dengan pertimbangan yang bertentangan satu sama lain dan pertimbangan yang bertentangan dengan hukum.


2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan kasus tersebut, maka permasalahan hukum yang akan coba saya kaji dalam tulisan ini adalah apakah Arbiter atau Majelis Arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum terkait dengan tindakannya selama memeriksa dan memutus sengketa arbitrase ?


3.       Pembahasan

Ketentuan umum yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui arabitrase di Indonesia  yakni sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengket (selanjutnya disebut “UU No. 30 Tahun 1999”).

Terkait dengan hubungan hukum antara arbiter dan para pihak yang bersenketa serta kewajiban arbiter, telah ditentukan dalam Pasal 17 UU No. 30 Tahun 1999, yang dikutip, sbb :

“1.   Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diteriamnya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan, terjadi perjanjian perdata.
2.    Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan  yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang diperjanjikan bersama”

Dari ketentuan Pasal 17 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa :

a.       Hubungan hukum antara arbiter dan pihak yang bersengketa yakni bersifat keperdataan karena arbiter tersebut dipilih dan ditunjuk oleh para pihak. Hal mana berbeda dengan hakim yang merupakan pejabat Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung (vide Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009)

b.      Hubungan keperdataan tersebut menimbulkan kewajiban bagi arbiter agar memberikan putusannya secara jujur, adil dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Terkait dengan pertanggungjawaban hukum arbiter atas segala tindakan yang diambil selama persidangan dalam menjalankan fungsinya sebagai arbiter, telah ditentukan dalam Pasal 21 UU No. 30 Tahun 1999 tersebut dikuti sbb :

“Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut”

Berdasarkan Pasal 21 tersebut, maka disimpulkan bahwa pada prinsipnya Arbiter atau Majelis Arbiter tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban hukum apapun selama menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter.

Meskipun demikian,  frase “kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut sebagaimana tercantum dalam ketentuan tersebut, memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa untuk dapat mengajukan tuntutan hukum apabila arbiter tersebut beritikad buruk dalam menjalankan fungsinya sebagai arbiter.

Dalam penjelasan Pasal 21 UU No. 30 tersebut, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk dari itikad buruk tersebut itikad buruk, namun pengertian itikad buruk (bad faith) dapat kita temukan dalam Black’s Law Dictionary Seventh Edition, halaman 134, yang sebagai berikut:

“A complete catalogue of types of bad faith is impossible, but the following types are among thouse which have been recognized in judicial decisions: evasion of the spirit of the bargain lack of diligence and slacking off, willful rendering of imperfect performance, …dst”

Berdasarkan Black’s Law Dictionary tersebut maka salah satu bentuk itikad buruk (bad faith), adalah “willful rendering of imperfect performance” atau sengaja bertindak secara tidak professional (terjemahan bebas).

Bentuk dari tindakan arbiter yang tidak professional menurut penulis yakni diantaranya :
a.       Tidak melaksanakan tindakan yang sepatutnya dilakukan guna mencari kebenaran atas pokok permasalahan yang disengketakan seperti melakukan sidang pemeriksaan lokasi;
b.      Membuat pertimbangan hukum yang bertentangan satu sama lain dalam putusannya;
c.       Memutus tidak berdasarkan bukti-bukti yang diajukan para pihak.

Bahwa adapun sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1365 KUHPerdata juga memberikan kewenangan kepada setiap orang untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak lain akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan pihak lain tersebut. Kualifikasi perbuatan melawan hukum berdasarkan yurisprudensi dan doktrin yakni tidak hanya terbatas pada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, melainkan lebih daripada itu (vide Setiawan dalam Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003, halaman 28), yakni:

a.      Melanggar hak subjektif orang lain;
b.      Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
c.       Melanggar kaedah tata susila;
d.      Bertentangan dengan kaedah kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.

Oleh karena tindakan seseorang yang bertentangan dengan kewajibannya, dapat dikategorikan sebagai bentuk perbuatan melawan hukum sehingga apabila tindakan tersebut membawa kerugian kepada pihak lainnya, maka memungkinkan pihak yang dirugikan tersebut untuk mengajukan tuntutan hukum.

Dalam kaitannya dengan tindakan arbiter, maka sebagaimana diuraikan diatas bahwa Pasal 17 UU No. 30 Tahun 1999 memberikan kewajiban hukum kepada arbiter untuk memutus sengketa para pihak secara jujur, adil dan sesuai ketentuan yang berlaku. Kewajiban arbiter tersebut juga tercantum dalam ketentuan, sbb :

a.      Pasal 56 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 yang antara lain dikutip sbb :

“Dalam hal Arbitrase tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim”

b.      Pasal  4 ayat (1) UU No.  30 Tahun 1999 yang dikutip, sbb :

“Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberi wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini TIDAK DIATUR dalam perjanjian mereka”

c.       Pasal 15 ayat 2 Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional tersebut dikutip, sbb:

“Dalam menerapkan hukum yang berlaku, Majelis harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta praktek dan kebiasaan yang relevan dalam kegiatan bisnis yang bersangkutan

Dari ketentuan Ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :

a.       Arbiter dalam memutus perkara harus berdasarkan pada ketentuan yang berlaku, baik peraturan perundang-undangan maupun kesepakatan atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b.      Arbiter dalam putusannya harus mempertimbangkan praktek kebiasaan bisnis yang terkait dengan pokok sengketa serta hak-hak dan kewajiban para pihak yang telah diatur dalam perjanjian.
c.       Arbiter hanya dapat memutus berdasarkan keadilan dan kepatutan yang menurut pendapat subjektif arbiter, apabila hal tersebut telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa.

Oleh karena ketentuan tersebut secara tegas mewajibkan arbiter untuk memutus berdasarkan hukum, maka apabila dalam putusannya arbiter atau majelis arbiter memberikan pertimbangan hukum atau menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan hukum dan membawa kerugian bagi salah satu pihak yanag bersengketa, maka menurut penulis hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan demikian maka arbiter atau majelis arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum dengan alasan adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata.


4.       Kesimpulan :

Arbiter atau Majelis Arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum oleh para pihak yang bersengketa terkait tindakannya selama memeriksa dan memutus sengketa arbitrase, sepanjang dapat dibuktikan adanya itikad buruk dan perbuatan melawan hukum yang tercermin dalam putusannya yang bertentangan dengan hukum.








Selasa, 17 Februari 2015

ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA FORMIL (TINJAUAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID/PRAP/2015/PN JAK.SEL ANTARA KOMJEN POL. BUDI GUNAWAN VS KPK)

Tulisan ini didasarkan atas adanya pro kontra terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan (Pemohon) atas penetapan tersangka dirinya oleh Komisi Pemberatntasan Korupsi (KPK). 

Hal yang secara khusus akan saya kaji dalam tulisan ini yakni salah satu pertimbangan hukum putusan tersebut yang pada pokoknya menyatakan bahwa asas legalitas hanya dikenal dalam hukum pidana materil sedangkan dalam hukum pidana formil tidak mengenal asas legalitas. 

Meskipun dalam teori hukum, terkait putusan hakim dikenal adanya asas hukum yang menyatakan bahwa res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar), namun dalam penulisan ini saya akan sedikit membahas secara singkat, tentang keberlakuan asas legalitas dalam hukum pidana formil berdasarkan peraturan dan doktrin yang berlaku.

1. Makna Asas Legalitas
Asas legalitas dalam hukum pidana berbunyi sebagai berkut “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Menurut Anselm von Feuerbach, kalimat tersebut bila diuraikan dalam tiga frasa, maka akan terdapat tiga makna yakni :
a. Nulla poena sine lege yang berarti tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang 
b. Nulla poena sine crimine yang berarti tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana 
c. Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang 

2. Fungsi Asas Legalitas 
Berdasarkan ketiga frasa yang terkandung dalam dalam asas legalitas sebagaimana dikemukakan dalam poin 1 di atas, maka terdapat dua fungsi dari asas legalitas tersebut yakni :
a. Fungsi melindungi yang berarti bahwa undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang; 
b. Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan; 

3. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Formil 
Keberlakuan asas legalitas dalam hukum pidana formil sebenarnya bersumber dari salah satu frasa yang merupakan makna dari asas legalitas sebagaimana dikemukan oleh Anselm von Feuerbach. Frasa tersebut yakni Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. Frasa tersebut mewajibkan agar setiap proses penegakan hukum pidana harus berdasarkan pada ketentuan undang-undang sehingga tidak diperkenankan para penegak hukum untuk menyimpang dari ketentuan undang-undang. Hal tersebut sejalan dengan fungsi instrumental dari asas legalitas sebagaimana dijelaskan di atas. 

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, penegasan asas legalitas tersebut tidak hanya terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan hukum pidana materiil, melainkan terkandung juga dalam hukum pidana formil yakni dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang berbunyi “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini” 

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHAP tersebut, maka setiap proses penegakan hukum pidana sepanjang tidak diatur secara khusus dalam ketentuan lain, maka harus dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam ketentuan KUHAP. Hal mana merupakan perwujudan dari asas frasa Nullum crimen sine poena legali maupun perwujudan dari fungsi instrumental dari asas legalitas tersebut. 

Dengan demikian, maka terkait dengan pertimbangan Hakim dalam perkara praperadilan Komjen Pol. Budi Gunawan vs KPK yang pada pokoknya menyatakan bahwa asas legalitas hanya berlaku dalam hukum pidana materil, menurut saya sangat tidak tepat. 

Adapun oleh karena telah jelas bahwa asas legalitas berlaku juga dalam hukum pidana formil dalam hal ini KUHAP, sehingga ketentuan tentang objek praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP tidak dapat ditafsirkan lebih lanjut di luar ketentuan tersebut.

Jumat, 13 Agustus 2010

ANALISIS MAKRO ATAS DAMPAK PENERAPAN KEBIJAKAN TAX HOLIDAY DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik investor asing sebanyak mungkin masuk ke negaranya.
Bangsa Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah merupakan salah satu faktor pendukung untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Sebagaimana diketahui bahwa konsep negara moderen dewasa ini telah berkembang ke arah filosofi yang lebih luas dimana fungsi negara tidak hanya sebagai “penjaga malam” yang bertugas untuk menciptakan keamanan dan ketertiban bagi rakyatnya melainkan lebih dari pada itu meweujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya atau sering disebut dengan welfare state.
Indonesia sebagai negara berkembang tentunya belum mampu berdiri sendiri untuk mengelola seluruh sumber daya alam yang dimiliki. Untuk bisa mengolah seluruh sumber daya alam tersebut, dibutuhkan sumber daya manusia, teknologi dan tentunya biaya yang besar. Dalam keadaan yang demikian maka dibutuhkan kerjasama dengan pihak luar baik negara-negara maju dan para pemilik modal yang bersedia untuk berinvestasi di Indonesia.
Negara sebagai pemegang roda perekonomian dan sebagai pihak yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak tentunya dituntut untuk bisa mengatur dan mengelola agar sumber daya alam tersebut agar dapat dimanfaatkan sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat. Secara singkat sudah dijelaskan diatas bahwa salah satu upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang dilakukan oleh negara yakni dengan mengundang investor asing untuk masuk ke negaranya. Dalam hal demikian maka tentunya dibutuhkan payung hukum yang kokoh guna mengatur dan mengendalikan sistem penanaman modal atau investasi tersebut.
Penanaman modal di Indonesia sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang menggantikan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968. Secara umum investasi atau penanaman modal dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan baik oleh orang pribadi (natural person) maupun badan hukum (juridical person) dalam upaya untuk meningkatkan dan atau mempertahankan nilai modalnya, baik yang berbentuk uang tunai (cash money), peralatan (equipment), aset tidak bergerak, hak atas kekayaan intelektual maupun keahlian. Sementara dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 disebutkan bahwa penanaman modal diartikan sebagai segala bentuk kegiatan penanaman modal baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
Pada dasarnya investor, baik investor domestik maupun investor asing yang menanamkan investasi di Indonesia diberikan kemudahan. Pemberian kemudahan ini adalah dimaksudkan agar investor domestik maupun investor asing mau menanamkan investasinya di Indonesia. Investasi itu sangat dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia untuk mempercepat proses pembangunan. Kemudahan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia berupa kemudahan dalam bidang perpajakan dan pungutan lainnya.
Ketentuan-ketentuan tentang kemudahan-kemudahan bagi penanaman modal di Indonesia telah diatur dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa investor, baik domestik maupun asing yang menanamkan investasinya di Indonesia diberikan kemudahan dan fasilitas-fasilitas bagi investasinya. Fasilitas penanaman modal itu diberikan kepada penanam modal yang :
1. Melakukan perluasan usaha atau
2. Melakukan penanaman modal baru
Adapun beberapa kriteria bagi penanam modal yang berhak memperoleh fasilitas atau kemudahan telah ditetntukan secara langsung dalam Undang-Undang tersebut. Bentuk fasilitas yang diberikan yakni :
1. Fasilitas PPh melalui pengurangan penghasilan netto.
2. Pembebasan atau keringanan bea masuk impor barang modal yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.
3. Pembebasan bea masuk bahan baku atau penolong untuk keperluan produksi tertentu.
4. Pembebasan atau penangguhan Pajak Penghasilan (PPN) atas barang impor barang modal.
5. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat.
6. Keringanan PBB
7. Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan.
8. Fasilitas hak atas tanah.
9. Fasilitas pelayanan keimigrasian
10. Fasilitas perizinan
Dari berbagai bentuk fasilitas diatas, permasalahan utama yang diangkat dalam makalah ini adalah menyangkut fasilitas di bidang perpajakan berupa fasilitas PPh melalui pengurangan penghasilan netto dan pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan. Rencana pemerintah untuk lebih mengefektifkan fasilitas dimaksud yakni dengan pemberian tax holiday.
Pemerintah berencana memperkuat payung hukum tax holiday sebagai bagian dari upaya menarik sebanyak mungkin investor menanamkan sahamnya di Indonesia. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan ketentuan tax holiday akan dimasukkan ke dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) atau yang dikenal dengan UU Perpajakan. Mau tidak mau, DPR dan Pemerintah akan kembali berkutat menyusun revisi UU Perpajakan jika gagasan Agus diakomodir. Di mata Agus, Indonesia tetap membutuhkan investasi. Investasi terutama dibutuhkan untuk membangun infrastruktur. Pemerintah tak mampu menyediakan seluruh dana pembangunan infrastruktur. Untuk itu, pemerintah mengundang swasta dan menawarkan konsep Public Private Partnership (PPP) .
Secara umum menurut literatur, A tax holiday is a temporary reduction or elimination of a tax. Governments usually create tax holidays as incentives for business investment. The taxes that are most commonly reduced by national and local governments are sales taxes. In developing countries, governments sometimes reduce or eliminate corporate taxes for the purpose of attracting Foreign Direct Investment or stimulating growth in selected industries. Tax holiday is given in respect of particular activities, and sometimes also only in particular areas with a view to develop that area of business.
Data BKPM menunjukkan, realisasi investasi hingga Maret 2010 baik PMDN maupun PMA banyak diserap oleh kawasan Indonesia Barat. Sepuluh provinsi yang mampu menyerap investasi PMDN terbesar adalah Jakarta, Banten, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Lampung. Sedangkan sepuluh provinsi yang berhasil menggaet investasi PMA terbesar adalah Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Kalimantan Selatan, Banten dan Sulawesi Tengah. Meski demikian, BKPM menyarankan pemberian fasilitas ini harus dengan batasan tertentu agar efektif. Kepala BKPM mengaku, kesenjangan pembangunan antara wilayah timur dan barat Indonesia bisa ditekan melalui pemberian fasilitas ini.Wilayah Indonesia timur itu fasilitas infrastrukturnya terbatas sekali. Jadi, agar ada yang mau investasi skala besar, misalnya di Papua atau NTB, sebagai daya tariknya bisa diberikan tax holiday. Demikian disampaikan oleh kepala BKPM.
Beberapa data atau informasi diatas menunjukan bahwa tax holiday ini memang memerlukan pengaturan atau dasar hukum yang kuat, hal ini mengingat kebijakan atau sistem ini belum pernah dikenal dan diterapkan sebelumnya di Indonesia. disamping itu tentunya pula bahwa rencana kebijakan ini haruslah didasarkan pada suatu pertimbangan yang matang sehingga tidak menimbukan ketimpangan dalam segala aspek kehidupan bernegara. Melalui makalah ini penulis akan mencoba mengkaji dan menganalisa rencana kebijakan tax holiday ini dari sudut makro sehingga diharapkan dapat memberikan suatu gambaran yang komprehensif mengenai dampak dari kemungkinan diterapkannya kebijakan tax holiday tersebut.

B. Rumusan Masalah
Adapun Permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah :
Bagaimana dampak atas penerapan kebijakan tax holiday di Indonesia dilihat dari perspektif makro ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Tentang Penanaman Modal
1. Pengertian Penanaman Modal
Istilah Investasi atau Penanaman modal merupakan istilah yang dikenal dalam kegiatan bisnis sehari hari maupun dalam bahasa perundang-undangan. Istilah investasi merupakan istilah yang populer dalam dunia usaha, sedangkan istilah penanaman modal lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (portofolio investment), sedangkan penanaman modal lebih memiliki konotasi kepada investasi langsung.
Adapun definisi lain tentang investasi dikemukakan Kamaruddin Ahmad bahwa investasi yakni menempatkan uang atau dana dengan harapan untuk memperoleh tambahan atau keuntungan tertentu atas uang atau dana tersebut. Unsur-unsur terpenting dari kegiatan investasi atau penanaman modal yaitu :
1. Adanya motif untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan nilai modalnya;
2. Bahwa modal tersebut tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat kasat mata dan dapat diraba (tangible) tetapi juga mencakup sesuatu yang tidak bersifat kasat mata dan tidak dapat diraba (intangible). Intangible mancakup keahlian, pengetahuan, jaringan dan sebagainya yang dalam berbagai kontrak kerjasama (join venture agreement) biasanya disebut valuable services.
Sementara itu dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, disebutkan bahwa penanaman modal diartikan sebagai segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara republik Indonesia.
2. Jenis dan Bentuk Penanaman Modal
Pada dasarnya Investasi dpat digolongkan berdasarkan aset, pengaruh, ekonomi, menurut sumber dan cara penanamananya. Kelima hal tersebut akan dijelaskan berikut :
a. Investasi berdasarkan asetnya.
Investasi berdasarkan asetnya merupakan penggolongan investasi dari aspek modal atau kekayaanya. Investasi berdasarkan asetnya dibagi menjadi 2 jenis yakni :
1) 1). Real asset; dan
2) 2.). Financial asset.
Real asset merupakan investasi yang berwujud seperti gedung-gedung dan sebagainya, sedangkan financial asset merupakan dokumen (surat-surat) klaim tidak langsung pemegangnya terhadap aktivitas riil pihak yang menerbitkan sekuritas tersebut. Perbedaan lain terletak pada likuiditas. Pengertian likuiditas disini adalah mudahnya mengkonversi sebagai suatu aset menjadi yang dan biaya transaksi cukup rendah. Real asset secara umum kurang likuid daripada asset keuangan. Hal ini disebabkan oleh sifat heterogennya dan khusus kegunaaanya.
b. Investasi berdasarkan pengaruhnya.
Investasi berdasarkan pengaruhnya merupakan investasi yang didasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi atau tidak mempengaruhi kegiatan investasi. Investasi berdasarkan pengaruhnya dibagi menjadi 2 macam yakni ;
1) Investasi autonomos (berdiri sendiri) merupakan investasi yang tidak dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, bersifat spekulatif. Misalnya pembelian surat-surat berharaga.
2) Investasi induced (mempengaruhi-menyebabkan) merupakan investasi yang dipengaruhi kenaikan permintaan atas barang dan jasa serta tingkat pendapatan. Misalnya penghasilan transitori, yaitu penghasilan yang didapat selain dari bekerja, seperti bunga dan sebagainnya.
c. Investasi berdasarkan sumber pembiayaannya.
Investasi berdasarkan sumber pembiayaanya merupakan investasi yang didasarkan pada asal-usul investasi itu diperoleh. Investasi ini dibagi dalam 2 macam :
1) Investasi yang bersumber dari modal asing (PMA)
2) Investasi yang bersumber dari modal dalam negeri (PMDN)
Investasi yang bersumber dari modal asing (PMA) merupakan investasi yang bersumber dari pembiayaan luar negeri. Sementara invetasi yang bersumber dari dalam negeri (PMDN) merupakan merupakan investasi yang bersumber dari pembiayaan dalam negeri.
d. Investasi berdasarkan bentuknya.
Investasi berdasarkan bentuknya merupakan investasi yang didasarkan pada cara menanamkan investasinya. Investasi jenis ini dibagi dalam dua macam yaitu :
1) Investasi portofolio
2) Investasi langsung
Investasi portofolio ini dilakukan melalui pasar modal dengan instrumen surat berharga, seperti saham dan obligasi. Investasi langsung merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total, mengakuisisi perusahaan.
3. Manfaat Penanaman Modal atau Investasi
Keberadaan investasi yang ditanamkan oleh investor terutama modal asing, ternyata memberikan dampak positif di dalam pembangunan. Adi Harsono mengemukakan dampak dari adanya investasi asing atau perusahaan asing di berbagai negara. Dampak yang dikemukakan oleh Adi Harsono didasarkan pada bukti-bukti dari keberadaan investasi asing atau perusahaan asing. Bukti-bukti tersebut disajikan sebagai berikut :
a. Masalah gaji
Perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi dibandingkan gaji rata-rata nasional. Di Amerika misalnya perusahaan asing membayar 4% lebih tinggi pada tahun 1989 dan 6%l lebih tinggi tahun 1996 dibandingkan perusahaan domestik.
b. Perusahaan asing menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan perusahaan nasional sejenis. Di Amerika, jumlah lapangan kerja yang diciptakan perusahaan asing mencapai 1,4% per tahun 1989 sampai dengan tahun 1996. Bandingkan dengan 0,8% yang diciptakan oleh perusahaan domestik. Di inggris dan Perancis, lapangan kerja di perusahaan asing naik 1,7% per tahun, sebaliknya lapangan kerja di perusahaan domestik, justru menyusut 2,7%. Hanya di Jerman dan Belanda, perusahaan asing tidak banyak berbeda dengan perusahaan domestik.
c. Perusahaan asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya di bidang pendidikan. Jumlah pelatihan dan di bidang pelatihan (R&D) di negara tempat mereka menanamkan investasinya mencapai 12% dari total pengeluaran R&D di Amerika Serikat, di Perancis 19% dan 40% di Inggris.
d. Perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan perusahaan domestik. Tahun 1996, perusahaan asing di Irlandia mengekspor 89% dari produksinya. Bandingkan dengan 34% yang dilakukan perusahaan domestik.

B. Tinjauan Umum Pajak
1. Pengertian Pajak
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Mengatakan bahwa pajak adalah iuran rakyak kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dpat ditunjukan dan diganakan untuk membayar pengeluaran umum. Lebih lanjut Soemitro menjelaskan bahwa kata “dapat dipaksakan” berarti bahwa jika hutang pajak itu tidak dibayarkan, utang itu dapat ditagih menggunakan kekerasan seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan. Terhadap pembayaran itu tidak dapat ditunjukkan adanya jasa timbal balik tertentu seperti halnya dalam retribusi.
Pengertian diatas kemudian dikoreksinya sendiri dan diubah menjadi pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama public saving.
Lima unsur pokok dalam definisi pajak pajak adalah :
1.Iuran/pungutan dari rakyat kepada negara
2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
3. Pajak dapat dipaksakan
4. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi
5. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara (pengeluaran umum pemerintah)
2. Fungsi Pajak
Sebenarnya, dari definisi pajak di atas sudah tergambarkan fungsi dari pajak yaitu untuk menyediakan barang-barang dan jasa-jasa publik. Namun demikian, dalam literatur-literatur perpajakan, dikenal dua macam fungsi pajak yaitu fungsi penerimaan (budgetair) dan fungsi mengatur (regulair).
Fungsi penerimaan adalah fungsi utama pajak. Pajak ditarik terutama untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik. Saat ini sekitar 70% APBN Indonesia dibiayai oleh pajak. Dua pajak penyumbang penerimaan terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan demikian, dua jenis pajak ini lebih memiliki fungsi penerimaan (budgetair) ketimbang fungsi mengatur.
Selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, pajak juga memiliki fungsi mengatur. Dalam fungsi ini, pajak mengarahkan perilaku sekelompok warga negara agar bertindak sesuai yang diinginkan. Contoh, agar masyarakat Indonesia mendapatkan minyak goreng yang murah, maka terhadap ekspor CPO akan dikenakan pajak ekspor yang tinggi. Contoh lain, agar masyarakat tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, maka terhadap jenis barang seperti ini dikenakan PPnBM yang tinggi. Jenis pajak yang biasanya digunakan sebagai instrumen mengatur ini adalah Pajak Ekspor, Bea Masuk dan PPnBM.
Kalau ditelusuri lebih jauh, ada satu lagi fungsi pajak yang harus kita catat. Fungsi tersebut adalah fungsi distribusi kekayaan di mana kelompok yang lebih mampu akan membayar pajak lebih banyak sementara kelompok yang kurang mampu akan mendapatkan manfaat lebih banyak dibandingkan dengan pajak yang dia bayar. Bahkan untuk kelompok tertentu, seperti penerima BLT, penerima subsidi BBM, dan penerima subsidi pupuk, mungkin dia tidak membayar pajak tapi dia mendapatkan manfaat langsung dari pajak. Dan memang karena alasan itulah adanya pajak. Saya lebih senang menyebut fungsi ini sebagai fungsi sosial pajak.

3. Tax Holiday
Tax holiday merupakan suatu kebijakan di perpajakan. Di Indonesia, kebijakan ini belum diatur dalam Undang-Undang Perpajakan. Ada beberapa literatur yang mencoba memberikan defenisi menyangkut pajak yakni :
A tax holiday is a temporary reduction or elimination of a tax. Governments usually create tax holidays as incentives for business investment. The taxes that are most commonly reduced by national and local governments are sales taxes. In developing countries, governments sometimes reduce or eliminate corporate taxes for the purpose of attracting Foreign Direct Investment or stimulating growth in selected industries. Tax holiday is given in respect of particular activities, and sometimes also only in particular areas with a view to develop that area of business. Dari pengertian tersebut diketahu bahwa tax holiday merupakan pengurangan atau penghapusan pajak untuk sementara waktu bagi seorang wajib pajak. Hal ini oleh pemerintah di negara-negara berkembang digunakan sebagai insentif atau fasilitas guna menarik investor asing. Adapun pengertian yang sama terdapat dalam The Conteporary English-Indonesia Dictonary yakni bahwa tax holiday merupakan masa bebas pajak.

C. Analisa Makro Atas Dampak Kebijakan Tax Holiday.
Sebelum menguraikan tentang dampak kebijakan tax holiday terhadap iklim investasi di Indonesia maka akan dipaparkan bagaimana konsep atau rencana kebijakan tax holiday oleh pemerintah yang diperoleh dari media :
Pemerintah berencana memperkuat payung hukum tax holiday sebagai bagian dari upaya menarik sebanyak mungkin investor menanamkan sahamnya di Indonesia. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan ketentuan tax holiday akan dimasukkan ke dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) atau yang dikenal dengan Undang-Undang Perpajakan.
Menurut Mentri Keuangan, Indonesia tetap membutuhkan investasi. Investasi terutama dibutuhkan untuk membangun infrastruktur. Pemerintah tak mampu menyediakan seluruh dana pembangunan infrastruktur. Untuk itu, pemerintah mengundang swasta dan menawarkan konsep Public Private Partnership (PPP). ini relevan dengan penetapan daftar usaha yang tertutup dan terbuka buat asing, biasa disebut Daftar Negatif Investasi. Industri pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Untuk industri ini, pemerintah dapat memberikan insentif kepada investor agar mau bergerak. Salah satunya adalah pemberian tax holiday.
Berkaitan dengan upaya menarik investor itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan menyatakan, sebenarnya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), mengatur bahwa apabila diperlukan pemerintah siap untuk menyikapi secara fiskal kepentingan penanaman modal. Pasal 18 UU Penanaman Modal sudah mengatur hal tersebut. Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal. Fasilitas tersebut diberikan kepada penanam modal yang melakukan peluasan usaha atau melakukan penanaman modal baru. Sekurang-kurangnya, penanaman modal itu memenuhi salah satu kriteria seperti menyerap banyak tenaga kerja.
Termasuk skala prioritas tinggi saat ini adalah pembangunan infrastruktur, melakukan alih teknologi, melakukan industri pionir. Lalu, berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu, menjaga kelestarian lingkungan hidup. Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal berupa pengurangan pajak, pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin atau peralatan kebutuhan produksi, bahkan bahan baku.

Kepala BKPM yakin Undang-Undang Penanaman Modal dan Undang-Undang Perpajakan sebenarnya tidak bertentangan, justru dapat dianggap saling melengkapi. Untuk itu, Pemerintah akan membuat working group yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Kepala BKPM supaya melakukan rumusan-rumusan untuk menyikapi kebijakan fiskal kedepan untuk kepentingan investasi. Untuk industri yang mendapatkan tax holiday, lanjut Gita akan dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan wilayah dan industri. Pendekatan industri yaitu apakah industri itu merupakan industri prionir atau industri yang membuahkan lapangan kerja yang banyak. Sementara itu, untuk pendekatan wilayah, yang akan diprioritaskan adalah industri yang ada di luar Jawa, baik di Indonesia Timur atau dipakai melalui pendekatan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan, Kementerian Perindustrian mengajukan penyaluran tax holiday salah satunya ke daerah Marauke dan luar pulau Jawa. Hal ini dikarenakan program perindustrian memang sekitar 75 persen ada di luar Pulau Jawa.
Setelah menguraikan tentang rencana atau konsep kebijakan pemerintah tentang tax holiday maka berikut akan dianalisa secara makro mengenai dampak dari kebijakan tersebut;
1. Pendekatan Hukum
Berbicara tentang hukum maka tentunya kebijakan tax holiday ini harus memiliki dasar hukum yang jelas serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33 memang memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan adanya ketentuan demikian maka negara bertanggung jawab atas segala bentuk pemanfaatan sumber daya alam agar digunakan secara maksimal bagi kesejahteraan rakyat. Bentuk tanggung jawab negara tersebut yakni dengan mengeluarkan peraturan-peraturan hukum agar dapat mengatur jalannya perekonomian, salah satunya yakni Nomor 25 Tahun 2007 Tentang penanaman Modal. Dalam Undang-Undang nomor 25 Tahun 2007, kebijakan tax holiday sendiri telah diatur secara jelas yakni dalam pasal 18 yang berisi tentang fasilitas yang diberikan kepada para investor tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. Diantara berbagai fasilitas tersebut maka yang tentunya berkaitan dengan tax holiday yakni berupa pengurangan atau penghapusan pajak penghasilan badan. Permasalahan yang mendasar jika dikaji dari segi hukum yakni bahwa kebijkan tax holiday ini dari sisi peraturan perpajakan, belum ada salah satu pasal-pun yang mengakomodasi atau memberikan peluang untuk dilakukannya tax holiday. Dengan demikian maka tentunya rencana kebjakan tersebut haruslah diatur terlebih dahulu dalam Peraturan perpajakan di Indonesia dan tentunya bahwa kebijakan tersebut terlebih dahulu harus dikaji pula dari berbagai aspek-aspek yang lain seperti aspek ekonomi, politik maupun sosiologis. Menyangkut kajian dari aspek yang lain tersebut akan coba dianlisa oleh penulis dalam analasis berikutnya.
2. Pendekatan Ekonomi
Rencana pemerintah untuk memberikan tax holiday sebagaimana yang diperoleh dari bahan hukum sukunder diatas yakni berbentuk pengurangan, penghapusan atau penundaan pajak bagi Investor tertentu yang melakukan usahanya di bidang industri pionir khususnya pembangunan infrastruktur dan menyerap tenaga kerja, atau setidaknya memenuhi persyaratan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Disisi lain pemberian fasilitas tax holiday tersebut untuk Investor yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia timur yang infrastrukturnya belum memadai sehngga bisa meningkatkan pemerataan pembangunan. Kebijakan ini, dari segi perekonomian khususnya perpajakan akan mengakibatkan potensi penerimaan negara lewat perpajakan khususnya pajak penghasilan badan tidak akan mengalami peningkatan selama periode tax holiday yang dalam sumber referensi lain diperkirakan penundaan pembayaran selama 2-5 tahun. Namun jika dikaji dari sudut pandang tenaga kerja maka potensi untuk menyerap tenaga kerja akan semakin meningkat, apalagi menyangkut pembangunan infrastruktur yang dalam prakteknya tentu saja menyerap banyak tenaga kerja. Peluang demikian tentunya akan meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya para buruh maupun tenaga terampil di bidang terkait dengan pembangunan itu, jika demikian halnya maka tentunya bahwa disisi lain pajak penghasilan orang pribadi akan meningkat pula. Di bidang perbankan, dengan masuknya investor asing tentunya sangat besar pengaruhnya karena rata-rata meraka membawa dana atau modal usaha yang besar dan disimpan di bank. Dengan demikian maka tentunya sisi pasiva suatu bank akan semakin meningkat karena tabungan atau deposito yang bertambah. Dengan meningkatnya sisi pasiva suatu bank maka tentunya kinerja bank dalam lalu-lintas pembayaran semakin lancar. Dari sisi pasiva tersebut dana tersebut akan dialirkan melalui sisi aktiva berupa kredit maupun pembiayaan lainnya kepada masyarakat maupun negara. Dampak dari hal tersebut bagi masyarakat yakni bahwa penyaluran kredit usaha kepada masyarakat akan semakin meningkat, masyarakat akan semakin terpacu untuk berwirausaha. Dengan peluang wirausaha tersebut maka tentunya bahwa pendapatan masyarakat akan semakin meningkat dan dengan demikian pemasukan bagi negara lewat sektor pajak tersebut semakin meningkat. Bagi pemerintah tentunya bahwa dengan meningkatnya struktur permodalan perbankan maka aktivitas pemerintah maupun program-program pemerintah yang dananya diperoleh dari bank akan semakin lancar baik program kredit usaha rakyat maupun program-program pembangunan yang dibiayai oleh perbankan.
Bagi negara disisi lain program tax holiday menyebabkan pemeritah akan terbantu dalam program-program pembangunan. Kebijakan tax holiday ini direncanakan pemerintah sebagaimana disampaikan menteri keuangan karena pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk pembangunan infrastruktur. Jika memang dipaksakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah maka jalan yang ditempuh pastinya dengan menghutang kepada luar negeri yang tentunya bungannya lebih tinggi dan menimbulkan beban dimasa yang akan datang. Utang pemerintah Indonesia sampai akhir Februari 2010 tercatat sebesar US$ 173,54 miliar atau setara dengan Rp 1.619,96 triliun. Jumlah ini bertambah sekitar Rp 29,3 triliun dibanding jumlah utang RI pada akhir 2009 yang sebesar US$ 169,22 miliar atau Rp 1.590,66 triliun. Demikian data yang dirilis Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, Senin (5/4/2010). Utang tersebut terdiri dari pinjaman US$ 65,06 miliar dan surat berharga US$ 108,48 miliar. Dengan menggunakan PDB Indonesia yang sebesar Rp 5.981,37 triliun, maka rasio utang Indonesia tercatat sebesar 27%. Dengan program tex holiday ini merupakan salah satu alternatif bagi pemerintah untuk lebih kreatif dalam mengusahakan pembangunan.

3. Pendekatan Pembangunan
Pembangunan merupakan salah satu tolak ukur perekonomian tingkat perekonomian suatu negara. negara-negara maju rata-rata memiliki tingkat pembangunan yang lebih cepat khususnya menyangkut infrastruktur. Salah satu tujuan pemberian fasilitas tax holiday adalah untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur, khususnya di kawasan Indonesia timur dan daerah-daerah yang terpencil. Seperti diketahu untuk meningkatkan pembangunan daerah dan otonomi daerah maka pemerintah Indonesia memberikan kesempatan untuk beberapa daerah melakukan pemekaran wilayah. Presiden menyebutkan, sejak tahun 1999-2009 telah bertambah 205 daerah otonom baru, yang terdiri dari tujuh provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan penambahan daerah-daerah otonom baru ini, berarti sekarang telah ada 524 daerah otonom, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Dari pemaparan presiden tersebut jika dihitung rata-rata maka dalam setahun ada 20 wilayah otonom baru yang terdiri dari 16 kabupaten dan 3 kota. Dengan hitungan rata-rata demikian maka tentunya pemerintah pusat sangat kesulitan untuk memberikan bantuan bagi pembangunan infrastrukur yang memadai. Infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang pembangunan dan aktivitas perekonomian. jika suatu daerah dimekarkan tetapi tidak memiliki infrastruktur yang memadai ibaratnya seperti memaksakan bayi yang baru lahir untuk berjalan. Dengan kenyataan yang demikian maka tentunya diperlukan Investor yang bersedia bekerjasama dengan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk pembangunan infrastrukur tersebut. Dengan adanya tax holiday ini merupakan salah satu bentuk konsep kerjasama pemerintah dengan asing untuk menarik Investor dan dengan sendirinya pembangunan akan berjalan lancar dan bisa menciptakan pemerataan pembangunan.
4. Pendekatan Politik
Pendekatan politik yang dimaksudkan disini bahwa tax holiday merupakan suatu cara untuk menarik investor asing ke Indonesia khususnya untuk PMA di bidang infrastruktur berupa sarana-sarana perhubungan dan transportasi dan sarana perekonomian lainnya. Hal ini mengingat bahwa pemerintah tidak memiliki dana untuk dapat mempercepat pemerataan pembangunan di daerah-daerah terpencil atau daerah-daerah yang baru dimekarkan. Dengan masuknya investor asing yang banyak tentunya bahwa hal ini akan menunjang Indonesia dalam memasuki era globalisasi dan memberikan peluang bagi iklin investasi di bidang lain dan tentunya masyarakat bisa memudahkan proses alih teknologi dan menjadi pembelajaran bagi masyarakat indonesia agar lebih profesional di bidangnya.
5. Pendekatan Sosiologis
Berbicara menyangkut aspek sosiologis maka tentunya harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Suatu kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah tentunya bukan hanya mempertimbangkan apek hukum saja melainkan aspek sosiologis masyarakat. Jika kita lihat dari aspek sosiologis maka dengan diberlakukannya tax holiday ini tentunya bertentangan dengan rasa keadilan bagi masyarakat. Disaat masyarakat dituntut oleh negara untuk giat membayar pajak, pemerintah malah memberikan keringanan pejak kepada subjek pajak tertentu. Namun hal ini berbanding terbalik jika kita telaah lebih jauh melihat pada subjek atau badan hukum yang diberikan keringanan pajak dan sektor usaha yang dilakukannya. Pembangunan infrastruktur di daerah-daerah merupakan sarana penunjang bagi perekonomian dan aktivitas warga, jika masyarakat sadar dan paham benar akan manfaat dari kegiatan investasi yang dilakukan maka gejolak rasa ketidakadilan itu bisa diminimalisir. Penyerapan tenaga kerja sebagai dampak dari investasi tersebut tetunya pula membawa suatu pengaruh yang positif karena bisa meningkatkan pendapatan masyarakat.






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian diatas merupakan suatu pemikiran dari sudut pandang makro yang coba memaparkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika kebijakan tax holiday itu diterapkan oleh pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut maka diperoleh kesimpulan bahwa dari segi hukum kebijakan tersebut masih membutuhkan suatu payung hukum yang jelas di bidang perpajakan dan tentunya membutuhkan analisa dari aspek-aspek yang lain. Dari sudut pandang ekonomi tentunya bahwa kebijakan tersebut jika benar-benar dilaksanakan maka potensi pendapatan negara melalui Pajak penghasilan badan yang seharusnya diperoleh menjadi hilang. namun disisi lain pajak penghasilan orang perorangan akan menjadi meningkat karena penyerapan tenaga kerja dari investasi yang diberikan tax holiday tersebut. Selain itu dari sektor perbankan, sisa pasivanya semakin bertambah karena masuknya modal asing yang besar, hal ini berdampak pada lalu lintas pembayaran semakin baik dan penyaluran dana ke masyarakat maupun pemerintah semaikn lancar. Kebijakan ini juga dari aspek ekonomi menjadi alternatif bagi pemerintah untuk tidak menghutang kepada pihak luar negeri. Dari segi pembangunan kebijakan ini merupakan alternatif lain bagi pemerintah untuk bisa membangun daerah-daerah yang baru dimekarkan dalam hal penyediaan sarana infrastrukur. Kebijakan ini merupakan suatu cara untuk menarik investor asing untuk masuk ke Indonesia dan merupakan strategi politik pemerintah dalam hal pembiayaan pembangunan. Dan dari aspek sosiologis, kebijakan ini dirasa tidak adil bagi masyarakat karena seolah-olah memberikan diskriminasi dalam hal pembayaran pajak. Namun dilain pihak masyarakat pastinya akan merasa puas dengan tersediannya fasilitas infrastruktur yang disediakan oleh investor yang mendapatkan tax holiday.



B. Saran
Adapun beberapa saran penulis menyangkut dampak kebijakan tax holiday ini yakni :
1. Bahwa terlepas dari kebijakan ini akan diberlakukan atau tidaknya, struktur dan sistem perpajakan di Indonesia ini perlu dibenahi terlebih dahulu sehingga tidak menimbulkan polemik bahkan menjadi sarang bagi koruptor untuk mendapatkan keuntungan.
2. Bahwa dilihat dari mekanisme perizinan maka pemerintah pusat harus bisa memberikan batasan yang tegas menyangkut kewenangan perizinan sehingga tidak menimbulkan konflik bagi pemerintah pusatdan daerah, apalagi dengan maraknya pungutan liar. Tentunya hal ini akan menjadi hambatan bagi investor untuk masuk ke Indonesia.
3. Bahwa koordinasi antara Menteri keunagan dan pihak-pihak terkait maupun pemerintah daerah harus dilaksanakan sehingga diperoleh suatu gambaran akan kebutuhan pembangunan dan infrastruktur di daerah-daerah yang akan diberikan fasilitas tax holiday bagi investor.
4. Bahwa pemerintah juga harus mengadakan evaluasi tentang insentif yang telah diberikan selama ini kepada investor, apakah insentif itu telah memberikan suatu manfaat yang berarti.


DAFTAR PUSATAKA

Buku-Buku
Anna Rokmatussah Dyah & Suratman, 2009, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Sinar Grafika, Jakarta.
Salim H.S & Budi Sutrisno, 2008. Hukum Investasi Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Y. Sri Pudyatmoko, 2006. Hukum Pajak, Andi Ofset, Yogyakarta.
Peter Salim, 2006. The Contemporary Englis-Indonesia Dictionary, Media Pustaka, Jakarta.

Internet
Yoz, http://hukumonline.com/berita/baca/lt4c1832f612a9a/pemerintah-ingin-perkuat-payung-hukum-tax-holiday. tanggal 16 Juni 2010.
http://en.wikipedia.org/wiki/Tax_holiday
http://www.bkpm.go.id/contents/news/278/KEPALA+BKPM+DAN+MENKEU+BAHAS+TAX+HOLIDAY+PEKAN+I

http://maksumpriangga.com/pengertian-dasar-dan-ciri-ciri-pajak-definisi-pajak.html

http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/pajak-pengertian-dan-fungsinya.html

http://www.jakartapress.com/www.php/news/id/12650/Utang-Pemerintah-RI-Capai-Rp-1-619-96-Triliun.jp

http://nasional.kompas.com/read/2010/01/19/18081215/Grand.Design.Pemekaran.Wilayah.Tuntas.Tahun.Ini