Selasa, 13 April 2010

Analisa Hukum Penggunaan Gaji Sebagai Jaminan Atas Kredit Pada Bank Dengan Konstruksi Fidusia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah memberikan suatu perkembangan baru menyangkut objek jaminan fidusia, pembagian benda kedalam dua bagian yakni benda bergerak dan benda tetap, menurut para ahli selain benda tetap tertentu yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang yang pembebanannya dapat menggunakan fidusia, penjaminan dengan fidusia pun telah dikhususkan pula untuk benda bergerak. Hal itu memang terdapat dalam Undang-Undang Fidusia sendiri, jadi prinsipnya selain benda tetap tertentu yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang, jaminan fidusia dapat pula dibebankan untuk benda-benda bergerak bahkan dikatakan lebih lanjut lagi bahwa benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.
Munculnya lembaga jaminan fidusia sebagai akibat dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat serta disertai dengan ciri khas constitum possesorium membawa berbagai dampak bagi sektor ekonomi dan bisnis. pemberian kredit oleh bank semakin banyak ditawarkan kepada masyarakat, baik itu kepada perorangan maupun badan-badan hukum yang membutuhkan dana. Berbagai fasilitas kredit yang ditawarkan oleh pihak bank dengan menggunakan perikatan secara fidusia sudah distandarisasikan dengan menggunakan formulir-formulir yang tidak lain adalah merupakan kontrak baku sehingga masyarakat harus mengikuti prosedur atau ketentuan-ketentuan yang sudah terdapat di dalamnya. Yang menjadi permasalahan bahwa pemberian kredit oleh bank-bank dewasa ini yakni dengan menggunakan gaji atau upah sebagai jaminan dengan konstruksi fidusia.
Gaji atau pengahasilan yang digunakan sebagai jaminan dengan konstruksi fidusia ini tentunya menjadi suatu permasalahan yang perlu diteliti karena ketentuan mengenai objek jaminan fidusia sendiri seperti sudah diutarakan diatas, telah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Dengan demikian perlu dikaji kualifikasi objek jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Jaminan Fidusia terhadap gaji sebagai jaminan atas kredit dengan konstruksi fidusia. Dalam kaitanya dengan itu bahwa jika dikaji ketentuan jaminan fidusia maka pengaturan mengenai objek jaminan tersebut belum secara rinci menyebutkan kriteria lebih lanjut menyangkut benda bergerak yang dapat dikualifikasikan kedalam objek jaminan fidusia. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 hanya mengatakan bahwa : Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia terhadap kreditur lainya. Selanjutnya menyangkut pasal ini dalam Penjelasan Undang-Undang ini pun dikatakan cukup jelas.
Dengan demikian dalam makalah ini akan dikaji tentang kualifikasi objek jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kualifikasi benda baik yang terdapat dalam KUHPerdata maupun pendapat-pendapat hukum yang berkaitan dengan itu sehingga dapat memberikan suatu kepastian hukum dalam artian bahwa melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu dasar pembenaran secara yuridis mengenai penggunaan gaji sebagai jaminan atas kredit dengan konstruksi fidusia.

B. Rumusan Masalah
Apakah Gaji yang digunakan sebagai Jaminan atas Kredit dengan konstruksi Fidusia dapat dibenarkan secara Hukum ?





BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan Fidusia
Berbicara menyangkut jaminan fidusia maka tentunya harus dipahami dahulu tentang pengertian dari jaminan itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : “Jaminan, yakni tanggungan atas pinjaman yang diterima; Agunan”
Selain itu ada pendapat lain yang mengartikan jaminan :
“Jaminan adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan”
Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia merumuskan tentang JAMINAN FIDUSIA yaitu :
Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia terhadap kreditur lainya.
Dari pengertian diatas dapat ditarik suatu simpulan bahwa jaminan fidusia memiliki unsur-unsur :
a) Hak jaminan.
b) Benda bergerak.
c) Benda tak bergerak khususnya bangunan.
d) Tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.
e) Sebagai agunan.
f) Untuk pelunasan hutang.
g) Kedudukan yang diutamakan.

2. Prinsip dan Syarat Jaminan Fidusia
Beberapa prinsip utama dari jaminan fidusia adalah sebagai berikut:
a). Bahwa secara riil, pemegang fidusia berfungsi sebagai pemegang jaminan saja bukan sebagai pemilik yang sebenarnya.
b). Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dar pihak debitur.
c). Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.
d). Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.
Selain itu agar sahnya peralihan hak dalam konstruksi hukum jaminan fidusia ini haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1). Terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk.
2). Adanya titel untuk suatu peralihan hak.
3). Adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan benda.
4) Cara tertentu untuk penyerahan, yakni dengan cara constitutum posessorium bagi benda bergerak yang berwujud atau dengan cessie untuk hutang piutang.
3. Objek Jaminan Fidusia.
Kalau dalam waktu yang lampau dalam yurisprudensi berkali-kali disebutkan, bahwa yang bisa menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak saja, maka sekarang perkembangan objek jaminan fidusia tidak hanya meliputi benda bergerak saja namun juga benda tetap tertentu. Ketentuan mengenai objek jaminan fidusia antara lain terdapat dalam pasal 1 ayat (2) dan ayat (4), pasal 9, pasal 10 dan pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999.
Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah sebagai berikut :
a) Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.
b) Dapat atas benda berwujud.
c) Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang.
d) Benda bergerak.
e) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan.
f) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik.
g) Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.
h) Dapat atas satu-satuan atau jenis benda.
i) Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda.
j) Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek jaminan fidusia.
k) Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
l) Benda persediaan (inventori, stok perdaganggan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia.

B. Gaji Sebagai Jaminan Atas Kredit Pada Bank Dengan Konstruksi Fidusia.
Dalam Pembahasan ini selanjutnya secara rinci dibicarakan mengenai jaminan kebendaan fidusia yang secara spesifik difokuskan pada objek jaminan fidusia. Berbicara menyangkut objek jaminan fidusia maka tentunya tidak terlepas dari pembahasan tentang hukum benda sebagaimana diatur dalam KUHPerdata (B.W) karena memang seperti sudah diutarakan diatas bahwa jaminan fidusia merupakan salah satu bentuk dari jaminan kebendaan.
Dalam pembahasan mengenai hukum benda, diawali dari pengertian benda itu sendiri. Pada umumnya perkataan “Benda” diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menjadi objek daripada hukum (objek hukum), dalam arti mana dipakai sebagai lawan daripada orang sebagai subjek hukum. Buku II KUHPerdata mempergunakan perkataan “benda” dalam dua istilah yakni benda (zaak) dan barang (goed).
Dalam KUHPerdata, kata zaak dipakai dalam dua arti, yang pertama dalam arti barang yang berwujud dan yang kedua dalam arti bagian daripada harta kekayaan, termasuk zaak selain barang-barang berwujud juga barang-barang tidak berwujud. Pengertian benda secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak eigendom (hak milik) sebagaimana diatur dalam pasal 499 KUHPerdata. Benda yang dapat menjadi objek hak milik menurut KUHPerdata adalah berupa benda berwujud dan benda tak berwujud. Benda berwujud adalah benda yang dapat ditangkap dengan panca indra. Sedangkan yang tidak berwujud adalah benda yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia seperti saham, surat berharga dan sebagainya. Berkaitan dengan itu Sri Soedewi Masychun Sofwan mengatakan bahwa yang merupakan benda itu pertama-tama adalah barang yang berwujud yang dapat ditangkap dengan panca indra tapi barang yang tidak berwujud termasuk benda juga. Pengertian benda seperti itu juga disampaikan oleh Prof. Subekti, S.H. yang mengatakan bahwa benda adalah sesuatu yang berwujud materi.
Selain pengertian benda diatas, adapun pengertian benda menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yakni :
Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.
Setelah membahas tentang pengertian benda selanjutnya akan dibahas tetang kualifikasi benda. Menurut sistem Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur dalam KUHPerdata benda dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Benda yang berwujud (lichamelijk),
Benda tak berwujud (onlichamelijk).
2. Benda yang bergerak,
Benda yang tak bergerak.
3. Benda yang dapat dipakai habis (vebruikbaar),
Benda yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar).
4. Benda yang sudah ada (tegenwoordigezaken),
Benda yang akan masih ada (toekomstigezaken).
Benda yang akan ada dibedakan antara
Benda absolute yaitu Benda yang pada suatu saat sama sekali belum ada, misalnya panen yang akan datang,
Benda relative yaitu Benda pada suatu saat itu sudah ada tapi bagi orang-orang tertentu belum ada, misalnya barang-barang yang sudah dibeli belum diserahkan.
5. Benda yang dalam perdagangan (zaken in de handel),
Benda yang diluar perdagangan (zaken buiten de handel).
6. Benda yang dapat dibagi,
Benda yang tidak dapat dibagi.
Pembedaan yang terpenting ialah pembedaan antara benda bergerak dan tak bergerak. Benda tak bergerak itu dibedakan antara:
1. Benda tak bergerak menurut sifatnya : tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon-pohon dan tumbuhan kecil.
2. Benda tak bergerak karena tujuannya : misalnya mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Ini sebetulnya malah benda bergerak tetapi oleh yang mempunyainya dalam pemakaian dihubungkan atau dikaitkan pada benda yang tidak bergerak yang merupakan benda pokok.
3. Benda tak bergerak menurut ketentuan Undang-Undang. Ini berwujud hak-hak atas benda-benda tak bergerak, misalnya hak memungut hasil atas benda tak bergerak, hak memakai atas benda tak bergerak, hipotik dan lain-lain.
Benda bergerak dibedakan atas:
1. benda bergerak karena sifatnya menurut pasal 509 KUHPerdata ialah benda yang dapat dipindahkan: meja, atau dapat pindah dengan sendirinya, misalnya: ternak.
2. benda bergerak karena ketentuan Undang-Undang menurut pasal 511 KUHPerdata ialah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak memungut hasil atas benda bergerak, hak pemakaian (gebruik) atas benda bergerak, saham-saham dan lain-lain.
Menurut hukum islam benda bergerak adalah benda yang mungkin dipindahkan ketempat lain, yaitu benda-benda yang ada diatas tanah, seperti bangunan, pohon, binatang, dan barang-barang
Selain benda bergerak dan benda tidak bergerak, salah satu pembedaan penting dalam kualifikasi benda menurut KUHPerdata yakni benda berwujud dan benda tidak berwujud.
Meskipun dalam rumusan pasal 503 KUHPerdata dikatakan secara tegas bahwa tiap-tiap kebendaan adalah berwujud atau tidak berwujud, namun jika kita simak baik-baik rumusan selanjutnya dalam KUHPerdata, tidak ditemukan secara pasti apa yang dinamakan dengan kebendaan tidak berwujud. Hanya ada 4 pasal dalam KUHPerdata yang selanjutnya menyebutkan istilah kebendaan tidak berwujud yaitu:
1. Pasal 613 yang mengatur tentang pemindahan hak milik atas kebendaan tidak berwujud.
2. Pasal 814 mengenai hak memungut hasil atau bunga.
3. Pasal 1158 tentang gadai atas piutang; dan
4. Pasal 1164 tentang hipotik atas hak-hak tertentu.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan kebendaan tidak berwujud adalah hak-hak, termasuk didalamnya yang diatur dalam pasal 508 KUHPerdata yang mengatur tentang kebendaan tidak berwujud yang termasuk kedalam kebendaan tidak bergerak, dan pasal 511 KUHPerdata yang mengatur kebendaan tidak berwujud yang termasuk dalam kebendaan bergerak. Dengan penafsiran a’contrario dapat dikatakan bahwa semua kebendaan diluar yang disebut dan dinyatakan sebagai kebendaan tidak berwujud adalah kebendaan berwujud.
Berdasarkan hasil seminar hukum jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada tanggal 09 sampai 11 Oktober 1978 di Yogyakarta menyimpulkan bahwa yang dinamakan benda tak berwujud sebenarnya tidaklah lain dari pada “hak-hak” saja, yaitu hak penagihan atau tuntutan (“claims”) yang kebanyakan juga mengenai benda (materi) misalnya : piutang atau tagihan uang, hak menuntut diserahkannya benda, hak oktroi (paten). Untuk memindahkan hak-hak seperti itu harus diserahkan segala surat yang membuktikan adanya tagihan atau tuntutan atau hak atas suatu dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan khusus yang diadakan untuk masing-masing.
Adapun yang disebut dengan kebendaan berwujud, karena memang kebendaan itu dapat dilihat keberadaannya dan disebut kebendaan tidak berwujud, karena kebendaan tersebut tidak memiliki bentuk fisik yang dapat dilihat (yang pada umumnya meliputi hak-hak atas suatu kebendaan yang berwujud).
Selain itu Dr. H. Tan. Kamelo,S.H.,M.S. dalam bukunya berjudul Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, dalam catatan kakinya yang membedakan kriteria benda menurut KUHPerdata mengatakan bahwa yang termasuk benda adalah barang berwujud dan tidak berwujud. Piutang adalah termasuk barang yang tidak berwujud sehingga piutang adalah benda.
Selain kualifikasi benda menurut KUHPerdata dalam hukum adat juga dikenal pembagian benda. Hukum adat tidak mengenal pembedaan antara benda-benda bergerak dengan benda tidak bergerak. Benda dalam hukum adat dibedakan atas benda tanah dan benda bukan tanah. Pembagian benda semacam ini tidak terlepas dari tingginya penghargaan masyarakat terhadap nilai atau arti penting tanah.
Adapun kualifikasi benda selain yang terdapat dalam Undang-Undang sebagaimana yang telah diutarakan diatas, berdasarkan hasil seminar hukum jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada tanggal 09 sampai 11 Oktober 1978 di Yogyakarta menyimpulkan pula bahwa pembagian benda yakni dalam tiga golongan yaitu:
1. Benda tak bergerak.
2. Benda bergerak.
3. Benda tak berwujud atau hak-hak.
Setelah mengetahui tentang benda serta kualifikaai benda maka selanjutnya akan coba dianalisa mengenai kualifikasi objek jaminan fidusia dalam kaitannya dengan penggunaan gaji karyawan sebagai jaminan atas kredit dengan konstruksi fidusia.
Jika kita simak dalam teori-teori tentang hukum benda, maka kualifikasi benda khususnya benda bergerak dan tidak bergerak sebagaimana sudah disebutkan diatas mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan 4 hal yakni bezit (kedudukan berkuasa), levering (penyerahan), verjaring (kadaluarsa), bezwaring (pembebanan). Mengenai 4 hal diatas, dalam pembahasan ini secara khusus hanya berkaitan dengan bezwaring (pembebanan) karena menyangkut objek dari benda yang dibebankan atau dijaminankan dengan fidusia. Dalam literatur menyangkut hukum benda disebutkan bahwa yang dapat dibebankan dengan fidusia adalah benda bergerak. Namun dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia telah memberikan suatu kekhususan menyangkut objek jaminan fidusia sebagaimana sudah disebutkan dalam sub bab sebelumnya yakni antara lain terdapat dalam pasal 1 ayat (2) dan ayat (4), pasal 9, pasal 10 dan pasal 20 yang meliputi :
1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.
2. Dapat atas benda berwujud.
3. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang.
4. Benda bergerak.
5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan.
6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik.
7. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.
8. Dapat atas satu-satuan atau jenis benda.
9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda.
10. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek jaminan fidusia.
11. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
12. Benda persediaan (inventori, stok perdaganggan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia
Jika melihat ketentuan tentang objek jaminan fidusia sebagaimana sudah disebutkan diatas maka tidak terdapat penyebutan secara khusus menyangkut gaji sebagai objek jaminan fidusia, dalam artian bahwa gaji yang digunakan sebagai objek jaminan dengan konstruksi fidusia, belum memiliki landasan yuridis yang pasti. Meskipun demikian perlu adanya suatu analisa mendalam tentang objek jaminan fidusia sebagaimana sudah disebutkan diatas.
Berbicara tentang gaji sebagai objek jaminan atas kredit maka perlu dipahami pula pengertian tentang gaji itu sendiri, hal ini mengingat gaji yang digunakan sebagai objek jaminan atas kredit dengan konstruksi fidusia belum memiliki landasan yuridis yang pasti sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya. Gaji dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai upah pekerja yang dibayar dalam waktu yang tetap atau balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu tertentu. Dari pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa gaji itu mempunyai persamaan arti dengan upah. Atau dengan kata lain, nama lain gaji adalah upah. Adapun pengertian upah menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukannya.
Pengertian gaji diatas tentunya memberikan suatu gambaran bahwa munculnya gaji itu karena adanya suatu perikatan antara pihak pengusaha dengan pekerja atau buruh. Jika dikaitkan dengan permasalahan yang diteliti, gaji atau upah yang diterima seseorang pekerja setiap bulannya karena adanya perikatan antara pekerja tersebut dengan pihak yang memberi kerja atau majikan. Perikatan sebagaimana dimaksud dalam buku III KUHPerdata diartikan sebagai hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan dimana disatu pihak ada hak dan dipihak lain ada kewajiban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara pihak pemberi kerja dengan pekerja telah memiliki hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing. Hubungan hukum yang ada diantara pihak pekerja dan pemberi kerja muncul karena adanya suatu perjanjian kerja. Perjanjian sebagai sumber perikatan, didalamnya berisikan prestasi. prestasi dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa hubungan hukum antara pihak pemberi kerja atau majikan dan pekerja telah menimbulkan hak dan kewajiban diantara mereka. Dari pihak pemberi kerja disisi lain memiliki hak atas suatu prestasi berupa pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh pekerja atau buruh, selain itu pihak pemberi kerja atau majikan pula mempunyai kewajiban untuk melakukan pembayaran gaji atau upah terhadap pekerja atau buruh yang telah bekerja tersebut. sedangkan jika dilihat dari dari pihak pekerja atau buruh maka pekerja atau buruh sebaliknya memiliki kewajiban untuk melakukan suatu pekerjaan sebagaimana yang sudah diperjanjikan, dan sebagai kontraprestasinya maka pekerja atau buruh tersebut berhak atas imbalan yakni pembayaran sejumlah uang atau yang disebut gaji atau upah.
Dari analisa diatas memberikan suatu penjelasan bahwa gaji atau upah itu sebenarnya merupakan suatu hak. Dilihat dari segi kualifikasi hak, maka gaji atau upah dapat dikategorikan sebagai hak nisbi atau hak relatif. Hak nisbi atau relatif itu merupakan hak yang memberikan wewenang kepada seseorang tertentu atau beberapa orang tertentu untuk menuntut supaya seseorang atau beberapa orang lain memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan demikian gaji atau upah sendiri muncul sebagai hak tagih karena prestasi berupa pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja atau buruh.
Gaji atau upah sebagai suatu hak yakni hak tagih pembayaran sejumlah uang atas prestasi yang telah dilakukan pekerja ini, jika dianalisa lebih jauh maka gaji sebagai hak tagih itu merupakan bagian dari piutang yang dimiliki oleh pekerja atau buruh dalam hubungan hukumnya dengan pemberi kerja. Hal ini mengingat sistem pembayaran gaji yang lazim berlaku adalah sistem pembayaran gaji di belakang setelah pekerja atau buruh tersebut bekerja selama sebulan, hal ini berarti pula bahwa setelah pekerja tersebut bekerja selama sebulan maka pekerja tersebut memiliki hak tagih atau piutang yang berupa gaji atau upah. Selain itu pengertian piutang menurut para ahli antara lain : S. Hadibroto yang mengatakan bahwa Piutang merupakan klaim terhadap pihak lain, apakah klaim tersebut berupa uang, barang atau jasa, untuk maksud akuntansi istilah ini dipergunakan dalam arti yang lebih sempit yaitu merupakan klaim yang diharapkan akan diselesaikan dengan uang. Penjelasan definisi di atas diketahui bahwa piutang secara luas diartikan sebagai tagihan atas segala sesuatu hak perusahaan baik berupa uang, barang maupun jasa atas pihak ketiga setelah perusahaan melaksanakan kewajibannya, sedangkan secara sempit piutang diartikan sebagai tagihan yang hanya dapat diselesaikan dengan diterimanya uang di masa yang akan datang. . Selain pengertian piutang menurut para ahli, dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia secara tegas telah memberikan suatu defenisi tentang piutang yakni hak untuk menerima pembayaran.
Berbagai penjelasan diatas merupakan suatu kajian normatif bagi permasalahan gaji yang digunakan sebagai jaminan atas kredit dengan konstruksi fidusia. ada berberapa jenis benda yang dapat digunakan sebagai objek jaminan fidusia, hak-hak seseorang pun dapat digunakan sebagai objek jaminan fidusia karena termasuk benda tak berwujud. Gaji sendiri merupakan suatu hak yang berupa hak tagih yang muncul sebagai suatu kontraprestasi atas pekerjaan yang telah dilakukan seorang pekerja, sehingga secara normatif gaji itu dapat dikualifikasikan sebagai benda tak berwujud. Sebagai suatu hak yang berupa hak tagih maka jika pembayaran gaji itu dibelakang dalam artian dimasa yang akan datang sebagaimana lazim terjadi, maka gaji itu merupakan piutang. Dengan dicantumkannya pengertian piutang dalam bagian umum Undang-Undang tentang jaminan fidusia maka secara tidak langsung sudah mengandung pengakuan akan piutang sebagai objek jaminan fidusia. Hal ini dipertegas lagi dalam pasal 9 ayat (1) dan (2). Dalam ayat (1) dikatakan bahwa jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. lebih lanjut dalam ayat (2) dikatakan bahwa pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak perlu dilakukan dengan perjanjian tersendiri.
Selain pengakuan dalam Undang-Undang tentang jaminan fidusia, pengakuan piutang sebagai objek jaminan fidusia antara lain oleh beberapa pendapat hukum diantaranya J. Satrio S.H dalam bukunya berjudul Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, mengatakan bahwa sebagai yang disebut dalam Pasal 1 sub 4 Undang-Undang Fidusia, yang menjadi benda jaminan fidusia tidak hanya benda-benda berwujud saja tetapi juga meliputi benda-benda tidak berwujud, seperti piutang-piutang, yaitu hak tagih. Pendapat itu juga diutarakan oleh Dr. H. Tan Kamelo,S.H.,M.S dalam bukunya Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, yang mengatakan bahwa apabila dipahami dengan cermat Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia, sudah cukup jelas bahwa piutang itu tidak lain adalah benda yang tidak berwujud.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan kajian normatif diatas maka simpulanya bahwa gaji yang digunakan sebagai jaminan atas kredit pada bank-bank umum dengan kontruksi fidusia, dapat dibenarkan secara hukum karena secara yuridis gaji tergolong kedalam benda tak berwujud yang berupa hak yakni piutang. Berdasarkan Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, piutang dapat dijadikan sebagai objek jaminan.

B. Saran
Hasil kajian diatas memang diketahui bahwa gaji dapat digunakan sebagai jaminan atas kredit dengan kontruksi fidusia, namun belum tentu bahwa serta merta perjanjian tersebut sah sebagai fidusia. Untuk memberikan kepastian hukum maka perjanjian kredit dengan menggunakan jaminan fidusia itu wajib didaftarkan, untuk itu saran penulis agar para pihak yang terlibat sebaiknya pula untuk mendaftarkan objek jaminan tersebut ke kantor Hukum dan HAM di wilayahnya.