Rabu, 25 November 2015

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ARBITER TERHADAP TUNTUTAN HUKUM PARA PIHAK YANG BERSENGKETA TERKAIT DENGAN TINDAKANNYA SELAMA MEMERIKSA DAN MEMUTUS SENGKETA ARBITRASE



1.       Latar Belakang

Tulisan ini didasarkan pada pengalaman saya dalam membela klien saya yang merasa dirugikan akibat tindakan Majelis Arbiter yang memeriksa dan memutus sengketa di salah satu lembaga arbitrase. Dalam mengadili perkara tersebut Majelis Arbiter diduga beritikad buruk dengan menolak melakukan pemeriksaan lokasi objek sengketa serta mejatuhkan putusan dengan pertimbangan yang bertentangan satu sama lain dan pertimbangan yang bertentangan dengan hukum.


2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan kasus tersebut, maka permasalahan hukum yang akan coba saya kaji dalam tulisan ini adalah apakah Arbiter atau Majelis Arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum terkait dengan tindakannya selama memeriksa dan memutus sengketa arbitrase ?


3.       Pembahasan

Ketentuan umum yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui arabitrase di Indonesia  yakni sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengket (selanjutnya disebut “UU No. 30 Tahun 1999”).

Terkait dengan hubungan hukum antara arbiter dan para pihak yang bersenketa serta kewajiban arbiter, telah ditentukan dalam Pasal 17 UU No. 30 Tahun 1999, yang dikutip, sbb :

“1.   Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diteriamnya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan, terjadi perjanjian perdata.
2.    Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan  yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang diperjanjikan bersama”

Dari ketentuan Pasal 17 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa :

a.       Hubungan hukum antara arbiter dan pihak yang bersengketa yakni bersifat keperdataan karena arbiter tersebut dipilih dan ditunjuk oleh para pihak. Hal mana berbeda dengan hakim yang merupakan pejabat Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung (vide Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009)

b.      Hubungan keperdataan tersebut menimbulkan kewajiban bagi arbiter agar memberikan putusannya secara jujur, adil dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Terkait dengan pertanggungjawaban hukum arbiter atas segala tindakan yang diambil selama persidangan dalam menjalankan fungsinya sebagai arbiter, telah ditentukan dalam Pasal 21 UU No. 30 Tahun 1999 tersebut dikuti sbb :

“Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut”

Berdasarkan Pasal 21 tersebut, maka disimpulkan bahwa pada prinsipnya Arbiter atau Majelis Arbiter tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban hukum apapun selama menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter.

Meskipun demikian,  frase “kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut sebagaimana tercantum dalam ketentuan tersebut, memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa untuk dapat mengajukan tuntutan hukum apabila arbiter tersebut beritikad buruk dalam menjalankan fungsinya sebagai arbiter.

Dalam penjelasan Pasal 21 UU No. 30 tersebut, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk dari itikad buruk tersebut itikad buruk, namun pengertian itikad buruk (bad faith) dapat kita temukan dalam Black’s Law Dictionary Seventh Edition, halaman 134, yang sebagai berikut:

“A complete catalogue of types of bad faith is impossible, but the following types are among thouse which have been recognized in judicial decisions: evasion of the spirit of the bargain lack of diligence and slacking off, willful rendering of imperfect performance, …dst”

Berdasarkan Black’s Law Dictionary tersebut maka salah satu bentuk itikad buruk (bad faith), adalah “willful rendering of imperfect performance” atau sengaja bertindak secara tidak professional (terjemahan bebas).

Bentuk dari tindakan arbiter yang tidak professional menurut penulis yakni diantaranya :
a.       Tidak melaksanakan tindakan yang sepatutnya dilakukan guna mencari kebenaran atas pokok permasalahan yang disengketakan seperti melakukan sidang pemeriksaan lokasi;
b.      Membuat pertimbangan hukum yang bertentangan satu sama lain dalam putusannya;
c.       Memutus tidak berdasarkan bukti-bukti yang diajukan para pihak.

Bahwa adapun sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1365 KUHPerdata juga memberikan kewenangan kepada setiap orang untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak lain akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan pihak lain tersebut. Kualifikasi perbuatan melawan hukum berdasarkan yurisprudensi dan doktrin yakni tidak hanya terbatas pada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, melainkan lebih daripada itu (vide Setiawan dalam Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003, halaman 28), yakni:

a.      Melanggar hak subjektif orang lain;
b.      Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
c.       Melanggar kaedah tata susila;
d.      Bertentangan dengan kaedah kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.

Oleh karena tindakan seseorang yang bertentangan dengan kewajibannya, dapat dikategorikan sebagai bentuk perbuatan melawan hukum sehingga apabila tindakan tersebut membawa kerugian kepada pihak lainnya, maka memungkinkan pihak yang dirugikan tersebut untuk mengajukan tuntutan hukum.

Dalam kaitannya dengan tindakan arbiter, maka sebagaimana diuraikan diatas bahwa Pasal 17 UU No. 30 Tahun 1999 memberikan kewajiban hukum kepada arbiter untuk memutus sengketa para pihak secara jujur, adil dan sesuai ketentuan yang berlaku. Kewajiban arbiter tersebut juga tercantum dalam ketentuan, sbb :

a.      Pasal 56 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 yang antara lain dikutip sbb :

“Dalam hal Arbitrase tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim”

b.      Pasal  4 ayat (1) UU No.  30 Tahun 1999 yang dikutip, sbb :

“Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberi wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini TIDAK DIATUR dalam perjanjian mereka”

c.       Pasal 15 ayat 2 Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional tersebut dikutip, sbb:

“Dalam menerapkan hukum yang berlaku, Majelis harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta praktek dan kebiasaan yang relevan dalam kegiatan bisnis yang bersangkutan

Dari ketentuan Ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :

a.       Arbiter dalam memutus perkara harus berdasarkan pada ketentuan yang berlaku, baik peraturan perundang-undangan maupun kesepakatan atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b.      Arbiter dalam putusannya harus mempertimbangkan praktek kebiasaan bisnis yang terkait dengan pokok sengketa serta hak-hak dan kewajiban para pihak yang telah diatur dalam perjanjian.
c.       Arbiter hanya dapat memutus berdasarkan keadilan dan kepatutan yang menurut pendapat subjektif arbiter, apabila hal tersebut telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa.

Oleh karena ketentuan tersebut secara tegas mewajibkan arbiter untuk memutus berdasarkan hukum, maka apabila dalam putusannya arbiter atau majelis arbiter memberikan pertimbangan hukum atau menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan hukum dan membawa kerugian bagi salah satu pihak yanag bersengketa, maka menurut penulis hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan demikian maka arbiter atau majelis arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum dengan alasan adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata.


4.       Kesimpulan :

Arbiter atau Majelis Arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum oleh para pihak yang bersengketa terkait tindakannya selama memeriksa dan memutus sengketa arbitrase, sepanjang dapat dibuktikan adanya itikad buruk dan perbuatan melawan hukum yang tercermin dalam putusannya yang bertentangan dengan hukum.








Selasa, 17 Februari 2015

ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA FORMIL (TINJAUAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID/PRAP/2015/PN JAK.SEL ANTARA KOMJEN POL. BUDI GUNAWAN VS KPK)

Tulisan ini didasarkan atas adanya pro kontra terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan (Pemohon) atas penetapan tersangka dirinya oleh Komisi Pemberatntasan Korupsi (KPK). 

Hal yang secara khusus akan saya kaji dalam tulisan ini yakni salah satu pertimbangan hukum putusan tersebut yang pada pokoknya menyatakan bahwa asas legalitas hanya dikenal dalam hukum pidana materil sedangkan dalam hukum pidana formil tidak mengenal asas legalitas. 

Meskipun dalam teori hukum, terkait putusan hakim dikenal adanya asas hukum yang menyatakan bahwa res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar), namun dalam penulisan ini saya akan sedikit membahas secara singkat, tentang keberlakuan asas legalitas dalam hukum pidana formil berdasarkan peraturan dan doktrin yang berlaku.

1. Makna Asas Legalitas
Asas legalitas dalam hukum pidana berbunyi sebagai berkut “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Menurut Anselm von Feuerbach, kalimat tersebut bila diuraikan dalam tiga frasa, maka akan terdapat tiga makna yakni :
a. Nulla poena sine lege yang berarti tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang 
b. Nulla poena sine crimine yang berarti tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana 
c. Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang 

2. Fungsi Asas Legalitas 
Berdasarkan ketiga frasa yang terkandung dalam dalam asas legalitas sebagaimana dikemukakan dalam poin 1 di atas, maka terdapat dua fungsi dari asas legalitas tersebut yakni :
a. Fungsi melindungi yang berarti bahwa undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang; 
b. Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan; 

3. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Formil 
Keberlakuan asas legalitas dalam hukum pidana formil sebenarnya bersumber dari salah satu frasa yang merupakan makna dari asas legalitas sebagaimana dikemukan oleh Anselm von Feuerbach. Frasa tersebut yakni Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. Frasa tersebut mewajibkan agar setiap proses penegakan hukum pidana harus berdasarkan pada ketentuan undang-undang sehingga tidak diperkenankan para penegak hukum untuk menyimpang dari ketentuan undang-undang. Hal tersebut sejalan dengan fungsi instrumental dari asas legalitas sebagaimana dijelaskan di atas. 

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, penegasan asas legalitas tersebut tidak hanya terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan hukum pidana materiil, melainkan terkandung juga dalam hukum pidana formil yakni dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang berbunyi “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini” 

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHAP tersebut, maka setiap proses penegakan hukum pidana sepanjang tidak diatur secara khusus dalam ketentuan lain, maka harus dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam ketentuan KUHAP. Hal mana merupakan perwujudan dari asas frasa Nullum crimen sine poena legali maupun perwujudan dari fungsi instrumental dari asas legalitas tersebut. 

Dengan demikian, maka terkait dengan pertimbangan Hakim dalam perkara praperadilan Komjen Pol. Budi Gunawan vs KPK yang pada pokoknya menyatakan bahwa asas legalitas hanya berlaku dalam hukum pidana materil, menurut saya sangat tidak tepat. 

Adapun oleh karena telah jelas bahwa asas legalitas berlaku juga dalam hukum pidana formil dalam hal ini KUHAP, sehingga ketentuan tentang objek praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP tidak dapat ditafsirkan lebih lanjut di luar ketentuan tersebut.